[REVIEW] Dr. Strange: Sulap Jalanan Versi Marvel




Dr. Strange, rilis pada tanggal 27 Oktober lalu merupakan salah satu film keluaran Marvel Studio yang paling ambisius secara visual sejauh ini. Dibintangi oleh Benedict Cumberbatch, yang sejauh ini seringnya kita lihat memainkan karakter jenius dan berengsek sama seperti perannya sebagai Dr. Stephen Strange (jangan lupa titel doktornya harus dicantumkan) di film ini, dan disutradarai oleh Scott Derrickson, yang sudah terbiasa directing film-film musim gugur dengan visual gelap. Sehinngga bisa dibilang produksi dari film ini sangatlah aman.

Mungkin anda bertanya-tanya kenapa saya menyamakan Dr. Strange dengan sulap jalanan, well, mudah saja. Sama seperti sulap jalanan, film fantasy-adventure menggunakan efek visualnya yang ciamik sebagai pengalih pehatian dari plot, dan trik-trik sederhana yang ada dibaliknya.

Jangan salah, saya tidak beranggapan bahwa film ini jelek, sebaliknya saya cukup terhibur dan saya menyarankan anda segera menonton instalasi Marvel terbaru ini. Dr. Strange menyuguhkan aksi yang menghibur, epic score and sound design, dialog dengan komedi yang sassy dan pintar, dan tentu saja visual yang ditampilkan luar biasa cantik sehingga sepanjang film membuat saya ingin buka celana. Namun, film ini bukan tanpa cela.


Film ini menceritakan tentang perjalanan Dr. Stephen Strange, pria kaya raya yang terbaik dalam bidang pekerjaannya, jenius namun arogan, yang mengalami pengalaman hampir mati karena kelakuannya sendiri yang secara drastis merubah hidupnya, dan menemukan panggilan dan kehidupan baru sebagai seorang superhero dari tragedi tersebut. Kalau imej Tony Stark muncul setelah anda membaca rangkuman tersebut, anda tidak salah karena memang plotnya, terutama dalam first act-nya, sangat mirip dengan film Iron Man yang pertama. Hell, saya bisa menyebut Dr. Stephen Strange sebagai Tony Stark 2.0.

Namun semua kesamaan itu menghilang setelah masuk 2nd act karena konflik dan motivasi yang mendorong kedua karakter terssebut juga beda jauh. Penggambaran karakter Dr. Strange sendiri lebih tragis dan gelap, didukung dengan tone dalam film yang lebih dramatis. Karena saya tidak mau spoiler cukup sampai situ saja. Ngomong-ngomong soal tone.


Mari kita bicarakan yang paling kentara; the visuals. Saya yakin sudah banyak pujian yang dilontarkan untuk aspek yang satu ini. Pujian datang terutama dari sisi CGI jadi saya tidak akan menambahkan komentar lagi selain bahwa saya ingin menonton film ini lagi dalam keadaan high. Beneran deh, selain cantik dan memukau visual yang disuguhkan oleh Ben Davis selaku cinematographer juga bersifat psychedelic. Bahkan dalam kondisi sadar pun kepala saya sering dibuat pusing selama menonton.

Yang membuat saya lebih tertarik dalam segi visual adalah, tone yang dipakai dalam film ini juga lebih gelap dari film-film MCU (Marvel Cinematic Universe) lainnya, which fits the theme perfectly. Bukan hanya itu, shots yang diambil memiliki komposisi yang memuaskan mata, lighting yang halus, dan tiap adegan diarahan dengan cermat. Ada satu adegan dimana Dr. Strange sedang sendirian dalam apartemen mewahnya dan berbincang dengan mantan kekasihnya Christine Palmer (diperankan oleh Rachel McAdams) dan Scott Derrick dengan pintar menggunakan hujan di background adegan tersebut. Dengan menampilkan dua karakter sekedar ngobrol, Derrick menggunakan hujan sebagai alat untuk menjaga agar mata penonton tidak kering dan saat adegan mencapai klimaks hujan yang hadir pada background membantu adegan itu makin dramatis. Clever.

Dr. Strange
juga menampilkan bermacam-macam dunia, contoh: dunia astral. Dan masing-masing dunia tersebut memiliki karakteristik masing-masing dan menggunakan tone yang berbeda-beda. Penggunaan tone yang begitu dinamis ini memberi kejelasan dan memberi nuansa yang khas sehingga penonton bisa dengan mudah membedakan antara satu dan yang lainnya. Permainan dunia ini juga yang membantu membedakan film ini dengan film lain.

Ada juga pergerakan kamera yang membuat saya tersenyum puas, yang efektif menandakan perubahan hati Dr. Strange untuk menolong orang yang bukan dirinya sendiri. Sayangnya, kalau saya bahas sekarang nanti spoiler he he.

Dalam hal performance, tidak perlu ditanya lagi karena dalam hal ini MCU belum pernah salah casting dan tiap aktor selalu seakan-akan terlahir untuk peran yang diberikan. Seperti biasa juga, karakter-karakter yang ditampilkan sangat likeable dan fleshed out. Yang perlu diperhatikan di sini cuma bagaimana semua karakter bisa tampil humoris. Most of the time momen-momen komedik yang ditampilkan (and trust me there are lots of 'em) berhasil memancing tawa namun sisi komedik ini juga membawa masalah yang akan kita bahas nanti.

Hal lain yang kurang mendapat perhatian adalah film ini bukan hanya film Marvel yang paling ambisius dalam sisi visual namun juga musik. Scoring yang disuguhkan terasa lebih dramatis dan epic dibandingkan film-film Marvel sebelumnya. Bahkan, beberapa action yang ditampilkan akan terasa lebih datar bila tidak ditemani oleh musiknya.

Dengan menggunakan sihir sebagai elemen utama dalam dunia Dr. Strange, sebenarnya akan sulit untuk fitting cerita yang di luar kebiasaan MCU. Namun dengan menampilkan bahwa The Avengers co-exist with this magical world dunia yang ditampilkan tidak terasa distant dari universe yang sudah ada sebelumnya.

Sihir yang ditampilkan juga tidak over the top sehingga meskipun spektakuler, masih bisa dianggap believable. Desain motif-motif sihir yang digunakan juga enak untuk dilihat, rumit, dan mengundang kagum tanpa terkesan konyol.

Seperti yang sudah saya katakan, film ini bukan tanpa cela, bahkan ada beberapa yang menganggu saya selama menonton.

Obviously, ini bukan pertama kalinya saya menyaksikan cerita semacam ini dan Dr. Strange tidak menceritakan plotnya dengan cara baru selain dengan visual yang pastinya lebih dijadikan fokus. Dan seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, cerita film ini tidak beda jauh dengan film Iron Man pertama, bahkan banyak kesamaan character traits antara dua titular characternya. Jika Dr. Strange bukan properti Marvel tentu bukan masalah yang terlalu besar, namun karena mereka mempunya induk yang sama, ini menunjukkan batasan kreatif tim Marvel. And yes, I know that's how it is too in the comics, but that doesn't make it any better if not worse.

Banyak juga penggambaran dan simbolisme yang hadir di sepanjang film. Namun, ada satu simbolisme yang menurut saya sangat obnoxious yaitu rentetan gambar tangan di sepanjang film. Satu atau dua shot saja sudah cukup untuk menunjukkan pada audience bahwa tangan Dr. Strange merupakan elemen penting dalam film ini, tapi tolonglah tidak perlu disodokkan ke muka kami begitu. Kan jengah juga lama-lama.

Bila selama menonton anda merasa kurang engaged ke dalam cerita yang ditayangkan, tidak perlu heran. Di saat anggota Avengers lainnya sudah bertarung menghadapi segala macam bencana dan berada jauh di dalam konflik semesta Marvel, film ini masih berkutat dengan origin story. Menceritakan dari awal bagaiman Dr. Strange menjadi Dr. Strange. Hal ini sebenarnya cukup imut karena kita bisa melihat lagi bagaimana Marvel menangani backstory karakter-karakter mereka, namun karena film ini ingin diperlakukan sebagai ekstensi MCU (dengan menunjukkan hubungannya dengan semesta Avengers), sulit untuk tidak merasa bahwa cerita yang ditampilkan sudah jauh ketinggalan dari instalasi-isntalasi Marvel lainnya. Inilah kenapa penonton, paling tidak saya sendiri, kurang immersed ke dalam dunia yang diceritakan. Also, it's a friggin origin story, god damn I'm tired of those.

Ngomong-ngomong soal immersion, problem paling besar yang saya punya terhadap film ini adalah kurangnya tensi. Sudah saya katakan sebelumnya, bahwa semua karakter di sini bisa membuat saya tertawa. Semua termasuk villain utamanya, Dormamu, yang merupakan monster pemakan planet-planet dalam alam semesta dan raja alam kegelapan digambarkan secara main-main dan dengan komedik sehingga tidak memancing rasa takut ataupun tensi sehingga tidak terasa ada bahaya selama menonton. Begitu juga secondary villain, Kaecilius (Mads Mikkelsen), yang sering beradu dialog-dialog quippy dengan Cumberbatch.

Memang ini membuat penonton lebih mudah menyukai mereka, namun tanpa adanya karakter yang benar-benar terlihat berbahaya film ini kehilangan semua tensi yang seharusnya bisa ditampilkan dengan cerita seperti ini.

Dr. Strange
menampilkan cerita yang menghibur, visual yang mengagumkan, dan memperkenalkan aspek baru, yaitu sihir ke dalam roster MCU. Meskipun film ini tidak menyuguhkan cerita yang belum pernah ditampilkan sebelumnya dan tidak melakukannya dengan cara yang berbeda, film ini cocok untuk ditonton bila kalian hanya mencari hiburan untuk mengisi waktu luang.

I'll give Dr. Strange a 7.5/10.

No comments:

Post a Comment